Jumat, 18 Februari 2011

KEBUDAYAAN JAWA



Harmonisasi Islam Dalam Kebudayaan Jawa

Oleh: AnneAhira.com Content Team
  ( 1 )   |   Jumlah komentar: 
Keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Semua itu harus berdampingan dengan tujuan untuk menghasilkan keharmonisan. Itulah falsafah dari Kebudayaan Jawa. Semua unsur harus saling mendukung karena sesungguhnya unsur-unsur tersebut juga saling membutuhkan.
Jaman boleh berkembang, namun tiga unsur utama tersebut di atas harus selalu ada. Budaya ini telah mengakar di kehidupan masyarakat Jawa sejak jaman dahulu. Meski Islam telah masuk ke pulau Jawa mulai abad ke 13, namun tidak mengganggu budaya asli Jawa.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena tiga unsur utama kebudayaan Jawa tersebut memang bersifat elastis sehingga bisa dengan mudah bisa menyatu dengan Agama Islam. Budaya Jawa telah berkembang sejak jaman pra sejarah. Tumpuan utamanya berdasar pada kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat Jawa mempercayai adanya suatu kekuatan ghaib yang bisa dimintai tolong untuk menyelesaikan masalah rohani dan duniawi di kehidupan mereka.
Masyarakat Jawa juga percaya selain manusia, di dunia ada suatu kehidupan lain yang kasat mata. Hal ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya bangunan-bangunan kuno yang berfungsi untuk mengadakan semacam upacara religi dengan tujuan untuk memuja roh atau dewa yang menguasai jagad raya beserta isinya.
Pada jaman Hindu dan Budha, bisa dilihat bukti lain yang sampai saat ini masih bisa dilihat. Yaitu adanya candi Borobudur dan Prambanan serta candi-candi lain yang tersebar di penjuru pulau Jawa. Hal ini menunjukan adanya suatu keinginan dari masyarakat Jawa agar dapat selalu menjalin hubungan dengan Sang Penguasa Alam secara langsung.
Maka ketika Islam datang kepada mereka, masyarakat  Jawa bisa menerimanya tanpa mengalami benturan apapun juga alias bisa berkembang secara damai. Apalagi ketika mulai muncul kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Pada jaman ini terjadi proses pengalihan dari keyakinan animisme-dinamisme serta Hindu-Budha menuju pada kepercayaan Islam. Pandangan hidup yang sebelumnya bersifat mistis berangsur-angsur menjadi pandangan spiritual tasawuf.
Demikianlah keunikan dari hubungan Islam dan kebudayaan Jawa. Dalam lingkungan tradisi Jawa, telah terjadi penggabungan secara alamiah antara tradisi yang lama dengan pola ajaran Islam yang notabene merupakan budaya baru. Kebudayaan lama tidak mati karena kedatangan Islam. Namun malah sebaliknya, kebudayaan Jawa makin berkembang.

Lalu bagaimana hubungan kebudayaan Jawa dengan Islam pada masa sekarang ini? Seperti telah diuraikan di atas, bila hubungan antara Islam dan kebudayaan Jawa itu punya keunikan tersendiri. Demikian pula saat ini. Keunikan yang muncul sekarang adalah munculnya kegairahan para pemeluk agama Islam di Jawa untuk memantapkan keIslamannya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah mereka secara lebih sempurna.
Misalnya, shalat lima waktu, puasa dan seterusnya. Namun di lain pihak mereka tidak pernah meninggalkan tradisi-tradisi Jawa yang telah dianut sebelumnya. Contoh yang paling nyata adalah dalam upacara pernikahan.
Pada umumnya masyarakat Jawa yang beragama Islam mengesahkan hubungan suatu pernikahan dengan tata cara agama Islam pula. Namun untuk penentuan hari dan waktunya selalu mengikuti perhitungan tradisional yang penuh nuansa kekentalan Budaya Jawa.
Budaya, Jawa, Islam, Masyarakat Jawa
Kebudayaan Jawa selalu mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Agama Islam bisa diterima masyarakat Jawa karena juga dinilai mengandung tiga unsur penting itu. Sejak jaman dahulu sampai sekarang mereka selalu mengaktualisasikan antara Islam yang menjadi agamanya serta budaya Jawa secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Kamis, 17 Februari 2011

kebudayaan jawahttp://www.blogster.com/style/blogster/gfx/avatar-blank.gifANJUNGAN JAWA TENGAH TAMAN MINI “INDONESIA INDAH” Provinsi Jawa Tengah merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia yang dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik dari darat, laut maupun udara. Provinsi Jawa Tengah telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman Purba hingga sekarang. Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya dengan budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Provinsi-Provinsi lain di Indonesia, mempunyai Anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah merupakan show window dari Provinsi Jawa Tengah yang dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan Jawa Tengah pada umumnya. Bangunan induk beserta bangunan lainnya di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Anjungan Jawa Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli. Bangunan induknya berupa sebuah “Pendopo” , tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of Thousand Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi peninggalan sejarah. Miniatur dari Candi Borobudur , Prambanan dan Mendut di tampilkan pula di Anjungan Jawa Tengah. Anjungan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça. Anjungan Jawa Tengah mempunyai luas ± 0,75 Ha. yang mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada tanggal 22 Desember 1974, hasil rancangan seorang arsitek bernama Ir. Kistubaka dan dipimpin pembangunannya oleh Ir. Hadi Tirto dan Ir. Soebakti. ‘ PENDOPO ‘ Adalah satu bangunan induk di Anjungan Jawa Tengah, merupakan bangunan yang paling depan tidak berdinding tanpa pintu dengan ruangan yang terbentang luas yang mempunyai makna, bahwa Raja bisa menerima tamu siapa saja dengan tangan terbuka serta dapat mengayomi rakyatnya berfungsi untuk menerima tamu, untuk upacara adat serta untuk pentas kesenian. Pendopo adalah bangunan berbentuk JOGLO, yaitu Joglo Ageng ditopang dengan 4(empat) buah soko guru, adapun atap pendopo terdiri dari dua patahan, atap patahan pertama namanya ATAP PENANGGAP ditopang dengan 12 buah SOKO GOCO, atap patahan kedua namanya ATAP PENITIH ditopang dengan 20 buah SOKO ROWO, serta ada atap tambahan namanya ATAP PANINGRAT ditopang dengan 30 SOKO EMPER dan atapnya sendiri/pelindungnya terbuat dari lempengan tembaga. Di belakang bangunan Pendopo tersambung bangunan yang diberi nama Pringgitan. PRINGGITAN berasal dari kata RINGGIT yang artinya WAYANG, sesuai dengan namanya, bilamana ada kegiatan upacara adat dan ada pergelaran/pementasan wayang kulit maka tempat pergelaran di Pringgitan. Di Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah”, Pringgitan merupakan tempat pameran busana adat daerah dan krobongan(sekat ruangan berukir). TAJUK MANGKURAT Seni arsitektur bangunannya berbentuk tajuk mempunyai 4 soko guru, bangunan ini dinamakan Mangkurat karena soko guru nya memakai lambang sari yang berarti hubungan mesra dan serasi antara pria dan wanita dan merupakan landasan yang kokoh untuk keharmonisan hidup berkeluarga. Konstruksi bangunan ini adalah sambungan hubungan atap dengan sinom lambang gantung, dodo peksi (bagian tengah kayu plafon) diukir dengan singup 4 ekor tawon (kumbang) mengelilingi bunga, mempunyai arti sengkalan “Catur Goro Hanggodo Sari” ( catur = 4 goro=7, anggodo=9 dan sari =1 ) jadi bacaannya kalau dibalik bangunan ini dibangun pada tahun 1974. Bangunan ini berfungsi untuk menyimpan barang koleksi(display). JOGLO PANGRAWIT APITAN Bangunan ini berbentuk joglo dengan 4 soko guru, atap penanggap dan atap penitih. Atap dengan lambang gantung disambung/dihubungkan dengan memakai soko bentung dan soko jantur, sedangkan atap penanggap dengan atap penitih dihubungkan dengan lambang sari. Konstruksinya terdiri dari usuk brunjung, usuk penanggap dan usuk penitih secara peniung. Gonjo soko-soko berukir dengan soko-soko bentung, soko jantur dan pritgantil berbentuk tawonan dan nanasan. Dodo peksi berukir dengan singup yang diukir dalam sangkalan memet “Sadoso Hamengku Lambang” yang mempunyai makna bangunan ini aslinya dibangun pada tahun 1906. Pangrawit Apitan berasal dari kata Pangrawit yang artinya gamelan sedangkan Apitan berasal dari kata sawitan (pakaian seragam) untuk niyogo atau penabuh gamelan. DORO GEPAK Arsitektur bangunan rumah ini merupakan bentuk rumah khas pedesaan yang terdapat di Jawa Tengah, disebut doro gepak karena bangunan rumah ini kalau dilihat dari atas atapnya menyerupai burung merpati sedang melayang. Konstruksi bangunan ini adalah berbentuk doro gepak dengan 8 buah soko guru, dikelilingi atap penanggap, disangga oleh cukit bahu danyang dengan gonjo ilat boyo. Biasa digunakan sebagai tempat untuk menghidangkan makanan kepada para tamu. PANGGUNG TERBUKA Tempat ini biasanya digunakan untuk pentas kesenian pada malam hari dan kapasitas penonton 500 orang, dengan latar belakang kala makara bertuliskan huruf jawa Ojo Dumeh (jangan sombong) serta dilengkapi dengan air terjun. Makara biasanya terdapat pada pintu-pintu masuk ke candi, makara menurut ajaran agama Hindu adalah sebagai penolak bala. RUMAH KUDUS Guna melengkapi koleksi bangunan adat dari Jawa Tengah, Anjungan Jawa Tengah membangun satu bangunan lagi yaitu Rumah adat dari Kabupaten Kudus yang menampilkan arsitektur dengan hiasan berupa ukiran-ukiran khas Kudus dan percampuran budaya Arab Persia, Cina, Eropa dan Jawa.SENI TARI JAWA TENGAH Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta. Macam-macam tariannya : Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda, Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan. Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti : -- Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dll. Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan. Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi klasik, tradisional dan garapan baru. Beberapa jenis tari yang ada antara lain : 1. Tari Klasik -- Tari Bedhaya : Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai berikut : a. Endhel Pojok b. Batak c. Gulu d. Dhada e. Buncit f. Endhel Apit Ngajeng g. Endhel Apit Wuri h. Endhel Weton Ngajeng i. Endhel Weton Wuri

Senin, 14 Februari 2011

MOTTO

       Kemarin adalah Kenangan
              Sekarang adalah Kenyataan
                      Dan Esok adalah Harapan